Jumat, Agustus 29, 2008

Selasa, Agustus 19, 2008

Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Tujuh belas agustus tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka nusa dan bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia

Merdeka...


Sekali merdeka tetap merdeka

Selama hayat masih di kandung badan

Kita tetap setia tetap setia

Mempertahankan Indonesia

Kita tetap setia tetap setia

Membela negara kita...



---------------------------

Itulah satu dari lagu wajib nasional dalam memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Saya mau cerita sedikit nih, kemarin hari minggu tanggal 17 agustus 2008, antusias warga jakarta dalam memeriahkan hari kemerdekaan RI, terutama daerah Priuk Jakarta utara.

Saya disana pertama kalinya ikut lomba 17an di priuk tempat mertua. Alhamdulillah saya menang lomba pukul kendi.

Dipriuk acara 17an cukup meriah lomba2nya....

Selasa, Agustus 05, 2008

Enak dan Tidak Enaknya Melajang

ENAKNYA MELAJANG

Bebas seperti burung. Mau pulang selepas kerja, bebas. Mau tidak mandi dan bermalas-malasan di hari libur, bebas. Tidak ada yang menuntut minta diantarkan belanja atau bepergian. Meskipun sudah punya “teman”, tunangan atau pacar toh tak mungkin mengintervensi hak privasi kita di rumah. Wong, belum ada ikatan resmi jadi belum boleh serumah! Apalagi mau ngatur-ngatur kita. Jadi mau ngapain aja, bebas euy!

Penghasilan sendiri dimakan sendiri.
Ini buat si cowok atau cewek lajang yang tidak perlu memikirkan keuangan rumah tangga ortu atau tempat dia numpang. Paling banter jika punya gandengan atau teman yang rewel ada alokasi untuk jajanin. Tidak ada alokasi khusus yang wajib di awal bulan untuk belanja rumah tangga. Segalanya diatur sendiri, dan dinikmati sendiri.

Tidak menanggung beban orang lain.
Melajang berarti belum punya istri apalagi anak. Berarti tidak punya tanggungan, tidak punya beban. Gak heran jika cowok atau cewek lajang lebih leluasa menghamburkan uang ketimbang mereka yang sudah beristri. Wong, belum ada yang ditanggung. Ya, iyalah!

Terhindar dari momok perkawinan.
Enaknya lajang yang tidak punya suami atau istri adalah otomatis terhindar dari momok perkawinan. John M. Gottman dalam Disayang Suami Sampai Mati (Kaifa, 2001) mensinyalir momok perkawinan yang ditakuti adalah kritik yang menyalahkan pasangan; penghinaan; pembelaan diri, dan akibatnya ada tembok pembatas untuk tidak mau berhubungan lagi. Duh, pusing kan? Kalo belum punya suami atau istri ya nggak harus berkompromi dengan pasangan. Egoisme pribadi sebagai cowok atau cewek pun bisa dimanjakan sepuas hati.

TIDAK ENAKNYA MELAJANG

Kesepian
Ini faktor utama yang sering dikeluhkan para lajang. Tidak ada teman berbagi yang sejati. Apalagi kata seorang bijak yang paling dirisaukan sebetulnya bukan tak punya teman curhat ketika sedih. Tapi tak punya teman curhat ketika hendak berbagi bahagia atau kisah sukses. Kesedihan sudah lazim dan sudah wataknya untuk dipendam, dan hilang seiring waktu. Tapi kebahagiaan, berita gembira, kabar sukses? Seperti kata Ella Wheeler Wincox dalam salah satu syairnya,”Laugh, and the world laugh with you. Weep, and you weep alone.” Tertawalah, dan dunia tertawa bersamamu. Menangislah, dan kamu akan menangis seorang diri.

Tidak tenteram.
Sebebas-bebasnya lajang ia juga manusia. Punya hasrat dan naluri berpasangan. Bukankah ada yin ada yang? Ada sepatu kanan, ada sepatu kiri. Ada cowok, ada cewek.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Surah Al-Rum, 30:21).
Mungkin ada yang membantah,”Ah, jika cuma kebutuhan seksual, toh bisa diperoleh dari yang lain.”
Yup, ini dia bedanya. Kebutuhan seksual yang dipuaskan dengan hubungan seksual di luar nikah (pre-marital intercourse) hanya memuaskan secara fisik, bukan batin. Jika demikian mengapa pasangan selebritis Hollywood Tom Cruise dan Cathy Holmes yang sudah kumpul kebo bertahun-tahun memutuskan menikah juga? Ya, karena faktor ketenteraman yang berbeda dibandingkan kumpul kebo atau samen leven. Lagipula selama belum terikat tali pernikahan kecurigaan bahwa pasangan kita akan memutuskan hubungan atau berselingkuh dengan laki-laki lain akan sangat menyiksa. Apalagi jika menjalin hubungan dengan pekcun alias WTS yang memang ‘milik umum’. Duh, jangan sampai deh!
Kasus pasangan kumpul kebo dua orang artis Indonesia yang telah menghasilkan dua anak dapat jadi contoh. Hubungan tanpa ikatan itu sedemikian longgar. Sehingga ketika sang suami yang keturunan bule kedapatan berciuman dengan wanita lain sang psangan langsung bilang sudah pisah beberapa bulan sebelumnya. Lha, kapan pula resminya? Padahal ketika ditelisik mereka masih serumah. Nah, sebuah ikatan yang rapuh bukan? Nikah sebaliknya adalah ikatan yang kuat atau mitsaqon gholidzo. Ia dikuatkan dengan ijab qabul saat akad nikah, mahar sebagai tanda ikatan dan surat resmi. Sah!
Dalam bahasa yang indah, Imam Ibnu Abbas dalam Al-Sya’b berujar,”Wanita diciptakan dari laki-laki. Maka ia membutuhkan laki-laki. Oleh sebab itu sayangilah istri-istri kalian. Sedangkan laki-laki diciptakan dari tanah. Maka ia membutuhkan wanita dan tanah.”

Tidak pede.
Orang yang tidak percaya diri atau tidak pede biasanya karena merasa kekurangan. Dan ia semakin tidak pede jika kekurangan itu dibicarakan orang lain. Nah, salah satu hal yang paling menyiksa bagi lajang adalah saat kondangan atau silaturahmi ke kerabat atau teman sahabat seperti saat Lebaran.
“Sudah punya pasangan belum?
“Wah, udah ada gandengan nih? Kapan nikahnya nih?”
“Ditunggu lho undangannya!”
Nah, kekurangan lajang adalah belum punya pasangan resmi yang bisa dengan bangga diperkenalkan sebagai “suami” atau “istri”. Ditambah lagi dengan semakin merambat naiknya usia. Bagaimanapun ini fitrah manusia yang lazim adanya dalam norma sosial budaya kita. Bahkan dalam adat sebagian suku di Indonesia kedewasaan seseorang dinilai dari apakah ia sudah menikah atau belum.
Seperti dalam sebuah iklan rokok di televisi.
“Kapan nikah?”
“May.”
“Bulan Mei?”
“Maybe next month, maybe next year.”

Belum sempurna agamanya
Menikah adalah menggenapi separuh dien (agama). Lajang lebih rentan terpapar zina atau penyimpangan seksual. Habis siapa ‘lawan tanding’ resminya?
“Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan, dan ia pasti mengalaminya. Zina kedua mata adalah melihat (yang haram); zina kedua telinga adalah mendengar; zina lidah adalah berbicara; zina tangan adalah memegang; zina kaki adalah melangkah ke tempat-tempat (yang haram) zina hati adalah berhasrat dan berharap, dan semuanya dibenarkan dengan kelamin.” (Hadis Riwayat Bukhari).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Majah, seseorang yang ingin bertemu Allah dalam keadaan suci hendaklah ia menikah. Dan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang menikah lebih baik daripada shalat malam dan berpuasa pada siang harinya yang dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”

Rentan godaan
Soal godaan seksual yang merupakan titik paling lemah cowok atau cewek lajang adalah hal paling berat saat ini. Kata Umar ibn Khattab, “Orang yang belum menikah cenderung akan berbuat kotor atau berzina.” Rasulullah SAW juga mewanti-wanti,”Tiada aku meninggalkan suatu fitnah (ujian) sesudahku, yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki daripada godaan wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di Indonesia yang merupakan negara Asia Tenggara pertama dan kedua di Asia yang memegang lisensi majalah porno Playboy, godaan seksual memang berat. Bukan hanya dari Playboy dan rekan-rekan sejenis, tapi dari peredaran VCD porno. Lihat saja kasus foto-foto syur di HP atau rekaman tersembunyi adegan erotis. Juga film salah satunya Jakarta Undercover yang salah satu produsernya konon pemimpin redaksi Playboy. Nah, sekoncoan ya!
Di tahun 1996, Muhyidin mengutip data dari Ramonasari (1996: 304) menengarai bahwa 80% remaja di Indonesia berhubungan seks dengan pacarnya (di luar nikah) dalam jangka waktu pacaran kurang dari satu tahun. Dalam data paling anyar dari penelitian Dr. Rita Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) terungkap bahwa 5 dari 100 pelajar SMA di DKI Jakarta sudah melakukan seks pranikah.
Dalam temuan yang dikemukakan Rita Damayanti untuk gelar doktornya tersebut, para pelajar Jakarta sudah akrab dengan pola pacaran seperti berciuman bibir (kissing), meraba-raba dada, menggesekkan alat kelamin (petting) hingga berhubungan badan. Dari 8.941 pelajar sebagai responden yang berasal dari 119 SMA atau sederajat di wilayah DKI Jakarta ditengarai bahwa lingkungan berperan penting terhadap tumbuhnya perilaku tersebut. Lingkungan yang negatif seperti pengaruh teman atau lingkungan keluarga yang kurang peka terhadap kondisi remaja cenderung membentuk remaja yang tidak punya benteng atau proteksi terhadap perilaku negatif orang-orang di sekelilingnya. Disebutkan juga budaya pacaran yang cenderung permisif dan liar. Bahkan perilaku seks pelajar cowok dua kali lebih agresif dibandingkan pelajar cewek mulai dari meraba dada hingga berhubungan badan.

PERILAKU PACARAN REMAJA SLTA DI JAKARTA*

*) Hasil Penelitian Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rita Damayanti, MPH (2007).
Dengan sedemikian dahsyatnya terpaan badai godaan seksual tak heran Rasulullah SAW memuliakan derajat seorang lajang yang tetap memelihara perilaku dan kehormatan diri dalam hadisnya yang diriwayatkan Ibnu Abbas, “Barang siapa yang terbuai cinta namun ia memelihara dirinya lalu meninggal dunia maka ia meninggal dunia sebagai syahid.” Wow! Sebuah ganjaran yang setara dengan pahala orang yang gugur berjuang di jalan Allah. Ini sekaligus menunjukkan beratnya menahan godaan seksual sama beratnya dengan bertempur mengangkat senjata!
Boros
Dibandingkan cowok atau cewek yang sudah nikah, cowok atau cewek lajang cenderung lebih boros. Otomatis relatif lebih miskin alias tongpes. Terlebih lagi jika hidup berpacaran dengan segala tetek bengek pembiayaan pacar seperti nonton, jalan-jalan atau bantu menanggung uang kuliahnya. Lebih boros lagi buat yang bergaya hidup seks bebas, yang berganti-ganti pasangan. “Perzinaan mengakibatkan kemiskinan.” (HR Al Baihaqi dan Asy-Syihab). “Miskinlah orang laki-laki yang tidak beristri walaupun ia berharta banyak.” (HR Ibnu Mundzir dan Abu Nu’aim)
Sifat hubungan yang sementara dan tanpa prioritas masa depan mendorong cewek atau, yang sering sih, cowok lajang, ketika memilih berpacaran, mengeluarkan lebih banyak uang agar tampak lebih mempesona dan menarik di mata pasangannya dengan memenuhi keinginannya. Tak heran tak jarang dijumpai kasus kriminalitas misalnya seorang cowok ketangkap basah mencuri handphone karena pingin memberikan hadiah Valentine bagi pacarnya. Duh, nggak penting banget ya!
Berbeda dengan cowok atau cewek yang sudah menikah, yang cenderung lebih berhati-hati mengeluarkan uang yang dimiliki. Karena ada banyak alokasi pengeluaran lain yang harus dipertimbangkan. Jika si cowok atau cewek bukan tipe yang bisa pegang duit, setidaknya sang suami atau istri bisa mengingatkan.
Tidak terlatih berdisiplin dan bertanggung jawab
Cowok atau cewek yang tidak punya tanggungan (baca: anak dan suami/istri) relatif lebih merasa bebas dan berpikir hanya untuk diri sendiri. Alhasil, terkadang tindakannya pun tak terkendali. Apalagi jika tak ada orang dekat yang mengingatkan. Apabila jika bukan ia sendiri yang mesti melatih berdisiplin dan bertanggung jawab maka ia harus berada dalam sebuah sistem yang mampu memaksanya berdisiplin dan bertanggung jawab.
Nah, selain sistem organisasi keagamaan atau pergerakan, rumah tangga adalah sistem yang cocok sebagai kawah candradimuka seorang pemimpin untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab. Dulu ketika salah seorang teman penulis yang hidupnya semrawut memutuskan menikah, banyak rekan yang meragukan apakah rumah tangganya bisa langgeng. Namun rupanya sistem rumah tangga memaksanya tumbuh jadi kepala keluarga dan suami yang dewasa dan lebih bertanggung jawab.
Kemampuan bertanggung jawab adalah salah satu ciri kematangan pengelolaan emosi seseorang. Patricia Patton, seorang pakar manajemen, menyatakan bahwa untuk mengelola emosi, kita dapat melakukannya dengan cara belajar, yakni: Pertama, belajar mengidentifikasi apa yang biasanya dapat memicu emosi kita dan respons apa yang biasa kita berikan. Kedua, belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala hal di sekitar kita yang dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh pada diri kita. Ketiga, belajar selalu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan kita. Keempat, belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menyelesaikan masalah. Kelima, belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.
Tidak memiliki investasi akhirat yang sempurna
Dalam salah satu hadisnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda,”Jika anak Adam meninggal dunia terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim). Dua poin pertama masih dapat si lajang upayakan dengan banyak bersedekah dan mengajarkan ilmu yang dimiliki. Nah, bagaimana dengan poin ketiga? Inilah penyebab tak sempurnanya investasi akhirat seorang lajang. Jika investasi dunia bisa dikejar ke ujung dunia kesempurnaannya, mengapa investasi akhirat yang lebih langgeng tidak diupayakan sedemikian apiknya?
Syaikh Ismail Al-Yusuf dalam Mutiara Pengantin mengisahkan seorang laki-laki yang melajang yang suatu ketika terbangun dari tidurnya seraya berteriak,”Nikahkan aku!”
“Aku bermimpi kiamat telah tiba,” tutur sang lajang. “Aku berada di tengah-tengah lautan manusia di Padang Mahsyar. Tenggorokanku kering, rasa haus nyaris membunuhku. Saat itu aku melihat bocah-bocah kecil membawa piala perak dan cangkir emas berisi air. Mereka memberi minum orang-orang tertentu. Dengan penuh harap, ‘kuulurkan tanganku pada salah satu dari mereka sembari berkata,”Berilah aku minum. Aku hampir mati kehausan.”
“Di antara kami tidak ada anakmu. Kami hanya memberi minum orangtua kami,” tolak mereka.
“Siapa kalian?”
“Kami adalah anak-anak kaum Muslimin yang meninggal ketika masih kecil.”
Di bagian lain, Syaikh Ismail Al-Yusuf juga mengutip sebuah kisah bahwa pada hari kiamat kelak anak-anak yang meninggal saat masih kecil berkumpul di satu sudut. Allah berkata kepada malaikat, “Antarkan mereka ke surga.” Sesampai di pintu surga, malaikat menyambut mereka seraya berkata,”Selamat datang di kampung kaum Muslimin. Silakan masuk, kalian tidak perlu dihisab.”
“Di mana ayah dan ibu kami?” tanya bocah-bocah kecil itu.
“Ayah dan ibu kalian tidak bisa ikut. Mereka pernah berbuat dosa dan melakukan kesalahan. Jadi mereka dihisab dan dituntut atas perbuatan itu,” jawab malaikat. Serentak semua anak-anak itu meraung-raung di pintu surga.
“Jeritan siapa ini?” tanya Allah sekalipun Ia lebih tahu apa yang terjadi.
“Anak-anak kecil kaum Muslimin,” jawab malaikat.
“Kami tidak akan masuk surga kecuali bersama ayah dan ibu kami!” ratap anak-anak kecil itu.
Allah kemudian bertitah,”Bergembiralah kalian semua. Raihlah tangan ayah dan ibu kalian, bawa mereka ke surga.”
Subhanallah. Sungguh suatu investasi akhirat yang mengiurkan bukan?
Mudah depresi atau mengalami gangguan mental
Ini terkait dengan faktor sakinah atau ketentraman yang telah dibahas sebelumnya. Adanya kepastian secara hukum dan psikologis akan keberadaan pasangan hidup menjadikan cowok lebih tenang secara batin. Dampaknya metabolisme tubuh bekerja lebih baik. Tak jarang banyak kawan kita yang sudah menikah yang dulunya kerempeng berubah jadi lebih berisi atau bahkan gendut. Efek psikologis itulah yang membedakan. Juga selain adanya kepuasan batin karena ada “hal-hal yang dapat tersalurkan”. Nah, ngerti kan? Karena orang yang tidak terpenuhi kebutuhan seksnya biasanya rentan terhadap depresi. Seperti dikatakan Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama besar, ketika menemui seseorang pemuda.“Aku meragukan kesehatan mentalnya.” Lho, kenapa? Konon si pemuda itu belum menikah.
So, Pilih Mana?
Melajang atau tidak melajang, itu sebuah pilihan. Bukankah hidup itu memilih? “Suatu waktu dalam hidupnya, manusia harus memilih. Jika tidak, ia tidak akan menjadi apa-apa,” ujar Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
Hukum menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan karena sesuai dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan. Buat kalangan Muslim, panutan terbesar kita Rasulullah SAW bersabda, “Nikah adalah sunnahku. Barang siapa tidak suka terhadap sunnahku maka ia bukanlah bukan golonganku.” Para nabi dan rasul di masa lalu juga menikah dan memiliki keturunan. “Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), dan Kami adakan buat mereka istri dan anak cucu.” (Surah Ar-Ra’du, 13: 38).
Sesungguhnya, alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman. Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa berubah-ubah atau tidak permanen. Secara psikologis kita memerlukan teman yang cocok dalam hal berbagi kehidupan. Suami atau isteri adalah pasangan hidup sekaligus teman hidup suami. Artinya, mereka sudah berikrar baik dalam susah maupun senang untuk selalu bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling menerima apa adanya. Seorang sahabat saya mengatakan,”Menikah itu banyak memberi bukan banyak menerima.”
Lantas bagaimana jika kita belum juga dapat jodoh atau menemui pasangan yang pas? Salahkah kita?
Sangat berbeda antara prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever dengan melajang karena belum dapat jodoh. Islam sendiri tidak mengenal prinsip selibat (al batul) atau tidak menikah selamanya. Umar ibn Khattab berkata, “Kependetaan sebagaimana dalam agama Nasrani yakni tidak menikah tidak ada dalam ajaran Islam. Menunda pernikahan adalah menunda banyak manfaat yang sesungguhnya dapat segera dinikmati oleh manusia.” Seorang ulama sufi Hasan Al Bashri berpesan, “Jauhilah sifat menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau esok kamu beruntung berarti keuntunganmu akan bertambah jika hari ini kamu telah beramal. Dan kalau besok kamu rugi kamu takkan menyesal karena toh kamu telah beramal pada hari ini.”
Crooks & Baur dalam Our Sexuality (1990) menyebutkan sejumlah alasan mengapa seseorang memilih mengakhiri masa lajang dan menikah:
1. Untuk mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan dibutuhkan orang lain.
2. Adanya keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat menjadikan suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam.
3. Untuk dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma sosial. Pernikahan akan lebih menyehatkan dan membahagiakan karena dapat menyalurkan hasrat biologis dalam kerangka hubungan yang resmi.
4. Adanya harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, dan hubungan yang tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya akan pasangan. Ini jelas tidak cukup didapatkan dalam hubungan percintaan atau pacaran saja.
5. Mendapatkan sejumlah keuntungan secara finansial dan hukum yang dapat diraih dalam pernikahan
Jika bimbang memilih, ingat yang berikut. Daniel S. Goleman dalam Emotional Intelligence—yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan. Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.
Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut. Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono. Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo)–atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Yang ideal adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan menunjukkan arah yang tepat. Maka pengelolaan emosi adalah hal penting.
Ada lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.
Yup, pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah yang digariskan untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia. “Wahai para pemuda, jika kalian mampu, menikahlah. Karena pernikahan lebih dapat mengekang hawa nafsu dan dapat menjaga pandangan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Banyak pasangan yang menganggap–sekaligus juga dibenarkan para pakar–bahwa menikah bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi kehidupan. Ia bukanlah puncak, ia justru titik start. Jadi belum berani menikah berarti belum bernyali menghadapi kehidupan. Ketika menikah, orang dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat dan matang.
Jadi, mengapa menunda-nunda?
“Menikahlah! Sekiranya engkau akan mendapati seorang istri yang baik, engkau akan menjadi sangat beruntung. Dan jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun, engkau akan menjadi filsuf karenanya, dan itu baik bagi laki-laki.” (Socrates, filsuf Yunani)
*) diambil dari potongan bab dalam salah satu buku tentang melajang karya Nursalam AR (Insya Allah akan terbit di tahun 2008).Sebuah buku yangmengambil sari pati pengalaman, observasi dan perenungan pribadi penulis sebagai mantan lajang.(www.nursalam.multiply.com)